Bella duduk di depan kaca. Dia
berusaha menghilangkan memori itu dari kepalanya. Memori yang tak ingin
diingatnya. Memori yang sangat ingin dihapusnya. Tapi, hal itu jelas tidak
mungkin. Memori adalah memori. Hal yang tidak dapat dihapus dan hanya dapat
dikenang.
“Bella, sarapannya udah siap!” kata
mamanya.
“Turun dong saying!”
“Bentar ma…!” respon Bella.
Bella pun turun dari kamarnya.
“Nih mama dah nyiapin sarapan
kesukaan kamu. Roti bakar selai kacang,” kata mama.
“Yummy,” respon Bella. “Makasih ma!”
Selesai menghabiskan sarapannya,
Bella pun berangkat ke sekolahnya. Di kelasnya, Bella kembali terdiam seperti
yang dilakukannya di depan kacanya. Semuanya terasa begitu menyakitkan. Sesuatu
yang tidak ia inginkan untuk terjadi, hal itu terjadi.
“Bel, sebenarnya ada apa sih? Kenapa
lo diam terus? Cerita dong sama gue!” tanya Sasha, sobat Bella.
“Gue baik-baik aja kok. Lo tenang
aja,” respon Bella.
“Lo bohong. Gue udah jadi sobat lo
sejak kecil Bel. Lo nggak bisa nyembunyiin kalau lo tu sedih. Pokoknya habis
pulang sekolah ini, lo ke rumah gue. Lo harus cerita sama gue apa yang bikin lo
sesedih sekarang ini,” jelas Sasha.
“Nggak usahlah Sha. Gue baik-baik
aja kok. Lo tenang aja,” kata Bella.
“Tapi gue nggak baik-baik aja
ngeliat lo kayak gini. Lo pokoknya harus cerita,” tegas Sasha.
Bella akhirnya hanya bisa mengangguk
pasrah.
Pelajaran sejarah yang sedang
dijelaskan di depan kelas hanya dianggap angin lalu bagi Bella. Ia masih
mengingat memori yang sangat menusuk hatinya. Bel pulang sekolah pun berbunyi.
“Bel yuk,” kata Sasha yang langsung
menyeret Bella pergi menuju mobil jemputannya.
Setiba di kamar Sasha, Bella
langsung menghempaskan badannya di kasur Sasha yang sangat capek, lelah, dan
letih akan semua hal yang terjadi hari ini.
“ Mau minum apa Bel?” tanya Sasha.
“Terserah lo aja deh,” respon Bella.
“Bentar ya,” kata Sasha.
Beberapa menit kemudian Sasha
kembali dengan dua gelas jus jeruk.
“Nih diminum dulu,” kata Sasha.
“Sekarang lo cerita apa yang
sebenarnya terjadi sama lo, kenapa lo berubah kayak gini belakangan hari ini,
apa yang terjadi sebenarnya Bel?” tanya Sasha bertubi-tubi.
Bella menarik napasnya.
“Lo masih ingat Felix kan?” tanya
Bella.
“Inget,” kata Sasha.
Gimana Sasha bisa lupa, cowok itu
adalah cowok pertama yang ngedeketin Bella. Tapi belakangan ini sikap Bella ke
Felix berubah, begitu juga sikap Felix ke Bella. Seakan ada suatu memori yang
hanya mereka berdua yang tahu, memori yang membuat semuanya berubah seperti
ini.
“Emangnya kenapa sama Felix, Bel?”
tanya Sasha.
“Sha, yang bikin gue kayak gini tu
Felix. Dia cowok pertama yang ngedeketin gue. Yang bikin hati gue
berbunga-bunga. Yang bikin gue seneng karena ada yang perhatian banget sama gue
selain elo sama keluarga gue. Tapi semuanya cuma palsu Sha. Cuma sebentar. Dia
udah ngangkat gue kemudian ngejatuhin gue lagi. Dia bikin gue sakit hati. Dia
yang udah nunjukin perhatian lebih ke gue. Beliin gue bunga, coklat, ngapelin
ke rumah gue tiap malam minggu,tapi nyatanya semua itu nggak berakhir seperti
yang gue harapkan Sha,” jelas Bella sambil menangis. Menumpahkan semua
kekesalan yang dipendamnya selama ini. Menumpahkan semua yang ia rasakan
beberapa hari ini.
“Emangnya apa yang ia lakuin Bel?”
tanya Sasha.
“Lo inget kan ultahnya Felix waktu
itu?” tanya Bella.
“Inget, gue waktu tu nggak pergi
soalnya lagi batuk parah,” jelas Sasha.
“Waktu itu gue berharap banget Felix
akan ngungkapin perasaannya ke gue. Ngungkapin tiga kata yang pengen banget gue
denger dari dia. Tapi sayangnya nggak. Waktu disuruh milih someone special yang
ingin dikasih potongan kue kedua, dia malah milih Rara. Trus dia langsung
ngungkapin perasaannya ke Rara. Trus maksud dia perhatian ke gue apa? Hati gue
terasa perlahan-lahan udah mati di dalam, Sha. Kenapa dia nggak ngasih kue itu
ke gue setelah semua perhatiannya ke gue. Setelah semua tingkahnya yang membuat
harapan gue tinggi. Ketika dia lewat, gue berusaha bilang ke dia semua yang gue
rasain. Tapi gue beku Sha, lidah gue beku. Kaki gue hanya membatu. Kata-kata
yang ingin gue ucapin hilang gitu aja. Gue ngeliat cara dia ngenatap Rara.
Tatapan itu yang gue sadari selama ini bukanlah tatapan yang ia berikan ke gue
selama ini. Kenapa gue bodoh banget? Kenapa gue nggak sadar? Kenapa dia nggak
bisa ngeliat gue kayak gitu? Kenapa dia nggak bisa ngeliat gue kayak gue
ngeliat dia? Kenapa dia nggak bisa ngungkapin tiga kata itu ke gue Sha? Kenapa
waktu nggak bisa berputar kembali Sha? Gue pengen ngulang semuanya supaya hal
itu nggak terjadi,” jelas Bella membuang semua kekesalan dan emosi yang
dipendamnya selama ini.
Sasha memeluk Bella. Berharap
pelukannya ini dapat meringankan beban yang ditahan Bella selama ini. Walaupun
tidak dapat menghilangkan beban itu sepenuhnya.
“I wish that was me, Sha. I wish I
was Rara…,”
0 comments:
Post a Comment